Saturday, February 26, 2011

Hermeneutika dalam Studi Tasawuf

Studi tasawuf dan filsafat sangat akrab dengan metode hermeneutika. Studi ilmu tasawuf sangat menekankan makna esoterik/batin sebuah teks suci dan filsafat sangat menekankan aspek filosofi dan tujuan kemanusiaan pada teks.

Untuk sampai kepada tujuannya, kedua disiplin ilmu ini merasa tidak cukup terwadahi dengan warisan metodologi konvensional studi Islam. Akhirnya, sadar atau tidak sadar, kedua disiplin kajian kelilmuan ini berada dalam alur metodologi yang sama; hermeneutika.

Hermeneutika sebenarnya bukan sesuatu yang serba baru samasekali. Hermeneutika adalah nama baru untuk sebuah masalah lama, yakni penafsiran teks suci. Kalangan sufi menganggap seluruh alam termasuk diri manusia adalah sebuah teks suci yang harus dibaca dan dimaknai. Kalangan filsuf menyebut teks itu adalah pemikiran atau jenis filosofi apa saja. Dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, teksnya adalah kenyataan sosial itu sendiri.

Hakikat kenyataan ini (kauniyat) adalah penafsiran itu sendiri. Manusia ada dan disebut manusia karena ia berpikir (bukan berakal saja). Apa saja yang dipikirkan selalu berarti memikirkan untuk mengetahui, memahami, dan mengerti teks: artinya menafsirkannya. Karena, tidak seorang pun mengklaim sampai pada hakikat kenyataan. Kita hanya bisa menemukan suatu pengetahuan yang relatif bertahan (validity) dan kuat bertahan (releability) dari kelemahan-kelemahan pemahaman.

Hermeneutika dan penafsiran mempunyai wilayah persentuhan tetapi keduanya tidak identik. Penafsiran teks adalah kegiatan berpikir, praktik penafsiran, usaha memahami. Untuk berpikir orang bisa tidak bermetode, tapi berpikir yang baik adalah berpikir dengan metode. Jika diputuskan untuk menggunakan metode dalam menafsirkan atau memikirkan teks, maka di situlah hermeneutika berperan. Jadi, hermeneutika adalah metode atau teori penafsiran.

Hermeneutika tidak melulu berarti metode. Istilah teori di sini merujuk pada istilah Kunstlehre, menurut Schleiermacher. Menurutnya, teori (Kunstlehre) berarti metode dan filsafat. Sebab, metode adalah teknik-teknik menafsirkan secara benar. Sebagai filsafat, hermeneutika berarti segala macam usaha manusia memahami apa yang terjadi ketika manusia menafsirkan teks dan apa yang terjadi ketika metode-metode interpretasi tertentu dirumuskan atau digunakan dalam penafsiran.

Oleh karena itu, dalam berbagai literatur hermeneutika modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan yang rasional, dan penerjemahan bahasa sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya lebih dekat dengan pengertian exegesis daripada hermeneutika.

Hal ini karena eksegesis berkaitan dengan kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori penafsiran yang lazim dalam hermeneutika. Jika eksegesis merupakan komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan ber-exegese.

Hermeneutika itu ada sejak agama lahir, bahkan sejak manusia muncul sebagai makhluk berkebudayaan. Setiap agama lahir dengan teksnya masing-masing, Islam dengan risalah Muhammad berupa Alquran dan sunah.

Teks Alquran dan sunah itu ditafsirkan oleh Nabi dan sahabat dari bahasa Tuhan, sekalipun tidak dengan metode yang sangat rigid. Karena masa Nabi dan sahabat, kata Muhammad Ata As-Sid, adalah masa penerimaan teologis terhadap teks Alquran.

Iman adalah segala-galanya, dan pemahaman terhadap Alquran adalah hal yang gampang. Jika ada kerancuan pemahaman, para sahabat bertanya ke Nabi, sementara Nabi bisa bertanya ke Tuhan. Lagi pula sahabat sangat memahami situasi Makkah dan Arab masa itu, plus persahabatan dengan Nabi (shuhbah) dan kemahiran mereka dalam bahasa Arab.

Hermeneutika sebagai metode dalam Islam muncul ketika wilayah politik Islam meluas dan dibutuhkan penafsiran terutama hukum terhadap teks-teks agama. Di sinilah mereka mulai berpikir metode. Awalnya, sekedar metode sastra, kemudian meluas menjadi metode hukum melalui perumusan jenis-jenis ungkapan dalam Alquran dan pembagian-pembagian pengambilan hukum (istinbath) oleh Imam Asy-Syafi’î.

Itu fase awal ketakutan kehilangan cara menafsirkan teks sehingga pemikir awal merumuskan hermeneutika “sederhana” untuk mencegah berhentinya orang menafsirkan Alquran. Tapi sejarah berulang, lama setelah itu, disiplin-disiplin keislaman—terutama usul fiqh, fiqh, tafsir, dan ulûm Alquran—mandeg setelah semakin canggih, di satu sisi dan banyaknya pertentangan politik, di sisi lain.

Epistemologi tradisional pemikiran Islam di kemudian hari lebih banyak beralih kepada tradisi skolastik Abad Pertengahan hingga munculnya kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai oleh perjumpaan kaum Muslim dengan kolonialisme.

Selama berabad-abad lamanya tidak pernah muncul pemikiran Islam yang sama sekali baru, kecuali sekedar pengulang-ulangan yang bersifat tautologis, di mana umat Islam—dan tradisi hermeneutika Alqurannya—tinggal mewarisi trilogi ortodoksi: paradigma Asy-Syafi’i, otoritas Al-Asy‘ari, dan ekletisisme Al-Gazhali.

Fase kedua hermeneutika Alquran terjadi pada masa modern ini. Menurut Andrew Rippin, kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Alquran dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrumen metodologis tersebut, penafsiran Alquran diharapkan mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada Alquran. Dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Alquran.

Prof DR Nasaruddin Umar

(Wakil Menteri Agama RI)