Tuesday, February 8, 2011

Penguatan Penanganan Bencana Melalui Studi Bencana Alam Katastropik Purba

Rentetan kejadian bencana alam besar di tanah air mulai dari bencana gempa-tsunami Aceh di tahun 2004 sampai bencana tsunami di Mentawai pada bulan September 2010 lalu menunjukan betapa dahsyatnya proses alam ini.

“Sebagai mahluk yang berakal manusia harus berupaya untuk menjaga kelangsungan hidupnya di masa datang. Oleh karenanya, meneliti sumber-sumber ancaman bencana dan jejak-jejak peradaban masa lalu yang musnah karena dilanda bencana alam diharapkan dapat memberikan solusi untuk memperkuat ketahanan nasional dalam menghadapi ancaman bencana di masa depan,” demikian kutipan dokumen yang dirilis oleh Tim Staf Khusus Presiden bidang Bantuan sosial dan Bencana beserta Tim ahli Gempa dan Geologi yang diterima SIGAP, Jum’at (1/4).

Dokumen yang bertajuk “Studi Bencana Alam Katastropik Purba Untuk Penguatan Ketahanan Nasional Dalam Menghadapi Ancaman Bencana Di Masa Datang (2010)” ini menyebutkan, alam mempunyai dua sisi: memberi rahmat berupa kekayaan alam dan tempat tinggal, dan memberi bencana karena proses-proses alam yang destruktif, termasuk kejadian gempa, letusan gunung api, dan tsunami. Sudah banyak bukti ilmiah tentang peradaban di masa purba yang hancur sebagian atau total karena dilanda bencana katastropik.


Latar belakang kegiatan penelitian ini dilakukan sesuai isi dokumen tersebut, karena dalam ilmu kebumian dikenal satu konsep utama, yaitu “The past is the key to the future”.


Untuk mitigasi bencana alam, hal ini diterjemahkan sebagai berikut, memahami ancaman bencana di masa datang, kita harus belajar dari bencana alam yang sudah pernah terjadi di masa lampau.


“Bencana alam adalah produk dari siklus (proses) alam, seperti siklus gempabumi, siklus letusan gunung api, siklus gerakan tanah, siklus banjir dari skala kecil sampai dengan skala sangat besar atau katastropik. Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa baik di wilayah nusantara ataupun dunia banyak sekali peradaban kuno yang runtuh bahkan seperti lenyap dari muka bumi karena peristiwa bencana alam katastropik.”


Selama 10 tahun terakhir, Indonesia dilanda oleh berbagai macam bencana alam yang mengakibatkan korban jiwa mencapai ratusan ribu dan kerugian material yang sangat banyak. Tragedi fenomenal dari tsunami besar di Aceh tahun 2004 misalnya, adalah contoh konkrit masa kini tentang bagaimana suatu bencana alam dapat menghancurkan sebagian besar peradaban di Banda Aceh hanya dalam tempo sekejap saja.



Sebelumnya masyarakat, khususnya di wilayah Aceh, hampir tidak mengenal kata tsunami sehingga sama sekali tidak siap menghadapi bencana tsunami. Padahal dalam perbendaharaan di Aceh ada kata Ieu Beuna yang artinya air bah besar (=tsunami).


Di tempat lain, Pulau Simelue misalnya, masyarakat masih ingat akan peristiwa bencana besar tsunami di masa lalu, karena kejadiannya belum begitu lama, yaitu tahun 1907. Sehingga orang Simelue yang masih mengenal tsunami atau smong bisa menjadi lebih siap dan banyak yang selamat ketika peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 terjadi.


Baru-baru ini, penelitian yang dilakukan oleh Tim peneliti gempa dan tsunami dari Earth Observatory of Singapore (EOS) dan LIPI bekerjasama dengan ARKENAS berhasil menguak fakta, bahwa ternyata banyak sisa-sisa bangunan kota kuno yang berada beberapa meter di dasar laut di lepas pantai Banda Aceh.


“Data eskavasi geologi dan radiometric dating diketahui bahwa kota kuno tersebut musnah diterjang tsunami besar pada abad 14. Pembelajaran mengenai sejarah bencana alam di masa lalu, dan upaya untuk mengurangi dampaknya menjadi hal yang penting guns meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana dimasa mendatang. Jadi seharusnya masyarakat di sana dapat belajar dari sejarah bencana alam di masa lalu sehingga bisa bersiap diri,” demikian disebutkan.


Kurangnya data sejarah dari kejadian bencana alam di masa lalu, di bumi Nusantara menyebabkan masyarakat tidak berdaya dan kehilangan memori akan pengalaman dan kearifan dari masa lalu.

Rentetan kejadian gempa besar dan tsunami kemudian terjadi secara berantai setelah tahun 2004, termasuk kejadian gempa Nias tahun 2005, gempa Jogya tahun 2006, gempa-tsunami Pangandaran tahun 2006, gempa-tsunami Bengkulu tahun 2007, dan terakhir gempa-tsunami Mentawai yang terjadi pada bulan September 2010.


Pada tahun 2006, masyarakat Jogya juga tidak siaga terhadap ancaman bencana gempabumi, karena sebagian besar masyarakat menganggap wilayah ini aman dari bencana gempa. “Padahal, bencana gempa serupa dengan kekuatan lebih besar, pernah terjadi pada tahun 1857 menewaskan sekitar 500 orang.”


Hal ini juga menandakan betapa pendeknya memori masyarakat kita terhadap sejarah bencana dan peradaban. Sejak tahun lalu, Bumi Nusantara juga digonjang-ganjing oleh ancaman bencana alam lain, yaitu letusan gunung api.



“Kita menyaksikan bagaimana letusan gunung merapi tahun 2010 yang dahsyat tersebut kembali memporakporandakan wilayah Jogyakarta setelah gempa tahun 2006. Semburan awan panas gunung api atau piro-klastika atau dikenal sebagai wedus gembel menewaskan banyak jiwa dalam sekejap. Demikian juga muntahan abu dan limpahan lahar dingin mengancan jiwa dan kesehatan penduduk setempat.”


Candi Borobudur yang sekarang menjadi kebanggaan nasional dan termasuk kedalam salah satu keajaiban dunia sebelum ditemukan pada tahun 1814, tertimbun oleh endapan gunung api muntahan dari Gunung Merapi yang sudah menjadi hutan sehingga sukar dikenali.


Kenapa candi besar ini sampai terlantar dan ditinggalkan orang sampai saat ini masih misteri, namun boleh jadi endapan gunung api yang menutupinya adalah saksi dari sebuah peristiwa letusan merapi yang sangat besar di masa purba sehingga membinasakan seluruh masyarakat di sekitarnya.


Candi Borobudur menjadi saksi bisu tentang punahnya peradaban masa lalu karena letusan gunung berapi.


Indonesia, sebagai bagian dari “ring of fire” Lautan Pacific adalah negeri yang dipenuhi oleh gunung api. Sejarah mencatat banyak letusan gunung api terbesar terjadi di Indonesia. Yang paling fenomenal adalah letusan gunung raksasa Toba yang terjadi sekitar 70,000 tahun lalu. Kaldera yang terbesar di dunia dari sisa letusan gunung api jaman kuno ini sekarang dikenal masyarakat sebagai Danau Toba.

Pada kejadian letusan katastropik Toba itu, diperkirakan terjadi pemusnahan massal dari populasi mahluk hidup di seluruh dunia, termasuk manusia. Hanya sebagian kecil yang dapat survive.


Meskipun demikian, tidak ada data yang cukup untuk mengetahui dengan jelas apa yang terjadi pada peradaban manusia sebelum dan sesudah letusan Toba. Ilmu pengetahuan hanya tahu bahwa paling tidak sejak sekitar 90.000 – 100.000 tahun lalu bumi sudah dihuni oleh mahluk berakal dan mengenal Tuhan, seperti kita. Dan sampai saat ini para ilmuwan sedunia percaya bahwa sampai sekitar 10.000 tahun lalu bangsa manusia masih hidup di jaman batu, alias hidup di alam, di hutan-hutan dan goa-goa seperti hewan.


Letusan gunung api katastropik lainnya adalah letusan Gunung Krakatau purba. Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi.



Isi teks Jawa Kuno itu antara lain menyebutkan, “Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara (i.e. Krakatau). Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula…. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera “.


Ledakan katastropik ini menghancurkan tiga perempat tubuh Krakatau Purba, hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung. Penelitian tentang letusan gunung Krakatau Purba ini masih sangat sedikit, sehingga data ilmiah yang adapun sangat minim, termasuk tentang kapan peristiwa ini terjadi.


Para peneliti geologi hanya bisa memperkirakan bahwa Gunung Krakatau Purba sebelum letusan mencapai ketinggian 2000 meter di atas muka laut, jauh lebih besar dan tinggi dibandingkan dengan Krakatau sebelum meledak tahun 1883, yaitu hanya setinggi 813 meter di atas muka laut.


Padahal letusan Krakatau yang terjadi 1883 saja mengakibatkan tsunami setinggi 40 meter, dan membunuh lebih dari 36.000 jiwa pada saat itu. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya letusan “Embah Krakatau” pada zaman kuno tersebut.


Fakta ilmiah memperlihatkan bahwa zaman es terakhir terjadi sekitar 20.000 tahun lalu, dimana permukaan laut waktu itu sekitar 130 meter di bawah muka laut sekarang. Oleh karena itu, Pulau Sumatra-Jawa-Kalimantan masih merupakan satu pulau (daratan) besar.


Selama ribuan tahun kemudian, air laut naik perlahan-lahan sampai sekitar 60 meter di bawah muka laut sekarang pada zaman sekitar 12.000 tahun lalu. Dari sekitar tahun 11.600 tahun lalu data geologi mencatat, kenaikan muka air laut tiba-tiba atau yang sangat cepat dalam beberapa tahap, sampai muka air laut setinggi sekitar hanya 5 meter dari muka laut sekarang pada masa sekitar 7000 tahun lalu.


Pada masa ini Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan sudah terpisah dan wilayah bekas dataran rumput purba di Laut Jawa yang ketika itu diairi oleh sungai besar dan dikelilingi oleh dataran tinggi dan gunung-gunung api nan elok, sudah seluruhnya digenangi laut.



Ada hipotesa yang mengatakan bahwa kenaikan muka air laut cepat pada sekitar 11.600 tahun lalu itu berkaitan dengan letusan Krakatau Purba, namun sampai sekarang belum ada penelitian untuk pembuktiannya. Demikian juga tentang keberadaan peradaban Indonesia kuno sebelum dan setelah letusan yang diceritakan oleh Pustaka Raja Parwa tersebut.


Baru-baru ini dua ilmuwan dunia, yaitu Profesor Arsyo Santos dan Profesor Stephen Openheimer mempublikaskan hipotesanya, bahwa daratan Atlantis yang tenggelam itu adalah Daratan Sunda.

Mereka percaya bahwa letusan Krakatau berkaitan dengan musnahnya Kerajaan Kuno pada sekitar 11,600 tahun lalu tersebut. Namun belum ada data dan analisis ilmiah yang cukup untuk mendukung hipotesanya ini. Terlebih lagi sampai saat ini ilmuwan di seluruh dunia masih meyakini bahwa sampai 10.000 tahun lalu dunia masih ada dalam jaman batu, belum ada peradaban maju.


Peradaban yang kita kenal sekarang baru mulai berkembang pesat sejak sekitar 8000 tahun lalu.

Sejarah dan fakta geologi sudah banyak memberikan pelajaran tentang bagaimana kejadian bencana alam di masa kuno dapat memusnahkan peradaban manusia.


“Boleh jadi, para leluhur nusantara juga meninggalkan berbagai catatan-catatan yang belum tersentuh tentang pengalaman berhara, nasihat-nasihat atau bahkan teknik-teknik jitu dalam menghadapi berbagai bencana alam yang pernah terjadi di zaman mereka. “


Adalah tugas kita untuk menggalinya. Konsep siklus alam mengajarkan bahwa segala apa yang pernah terjadi di masa lampau pasti akan terjadi lagi di masa datang. Pertanyaannya, sudah cukupkah kita belajar dan sudah siapkah kita?


Salah satu upaya pembelajaran dan peningkatan kesiapan kita yang efektif adalah dengan mengembangkan research center of excellent dan program pendidikan formal di universitas untuk mengembangkan Iptek sekaligus SDM unggul.


Oleh karena itu studi ini dapat disandingkan dengan Program GREAT (Graduate Research on Earthquake and Active Tectonics) dan CrATER (Center for Active Tectonics and Earthquake Research) yang diselenggarakan atas kerjasama ITB dan LIPI dan difasilitasi oleh Staf Khusus Presiden Bidang Sosial dan Bencana Alam

(SKP BSB)