Thursday, February 3, 2011

Kejayaan Maritim Nusantara di Zaman Majapahit


Resensi buku oleh : Viddy AD Daery

Judul Buku: Majapahit : Peradaban Maritim
Penulis : Irawan Djoko Nugroho
Penerbit : Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta
Tahun : 2011

Sudah banyak buku yang menulis zaman kejayaan maritim Nusantara. Misalnya, Robert Dick-Read lewat bukunya “Penjelajah Bahari” menulis mengenai kejayaan pelayar Nusantara di abad sebelum Masehi,yang berdagang dan menangkap budak sampai di Afrika Timur dan Afrika Barat, dan tinggalannya yang nyata adalah bangsa Melayu-Merina sawo matang di Madagascar hari ini, yang mungkin tercecer atau menetap di Pulau tersebut karena berhasil menjadi elit pemerintah di Pulau yang terasing tersebut.

Kemudian buku Anthony Reid, yang menulis buku “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga” yang mengungkap mengenai kejayaan Nusantara di “kurun niaga” yakni abad ke 15 M. Zaman itu, Nusantara adalah penguasa perdagangan antar pulau, sehingga manusia Nusantara kaya raya, bahkan kuli pelabuhan gajinya sangat tinggi. Perbandingannya ialah, bekerja di pelabuhan seminggu sudah cukup untuk hidup sebulan. Bandingkan dengan gaji buruh sekarang, dimana gaji sebulan hanya cukup untuk hidup seminggu.

Kini, buku Irawan Djoko Nugroho “ Majapahit : Peradaban Maritim” khusus menyorot kejayaan Maritim Nusantara zaman Majapahit. Berbekal berbagai buku-buku di atas, ditambah buku-buku klasik Cina, Portugis, Arab, serta yang paling penting adalah kitab-kitab babad Nusantara, maka Irawan mengungkap bahwa Kerajaan Majapahit adalah kerajaan terkaya dan mempunyai jumlah perahu dan kapal terbesar di dunia!

Uniknya,agar tidak terasa sepihak, Irawan Djoko Nugroho tidak hanya merujuk kitab-kitab “intern Majapahit” misalnya, Desawarnana/Negarakertagama, Kidung Ranggalawe, Kidung Harsa-Wijaya, Pararaton, Babad Tanah Jawi dan sebagainya.

Namun juga merujuk kitab-kitab “musuh Majapahit” misalnya Kidung Sundayana, Hikayat Banjar, Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah dan sebagainya.

Dari situ, terungkaplah berapa jumlah kapal milik Majapahit yang sekitar 2800 perahu/kapal ( minimal ), kerajaan Makasar 200 kapal, kerajaan Siam 100 kapal, kerajaan Cina 100 kapal, kerajaan Portugis 43 kapal.

Kesultanan Malaka ketika melamar putri Majapahit membawa 7 kapal, sebaliknya ketika Majapahit mengantarkan putrinya ke Malaka mengerahkan kapal dalam jumlah besar. Karena tidak disebutkan jumlahnya, bisa kita andaikan minimal 50 kapal.

Juga terungkap dalam buku ini, serangan Tatar-Mongol ke Jawa di bawah perintah Kaisar Terkaya di dunia saat itu, Kubilai Khan, Cuma membawa 1000 kapal, dan ukurannya hanya sedang, bukan kapal besar seperti kepunyaan Majapahit yang mempunyai lebih dari 2800 kapal. Padahal, pengerahan 1000 kapal itu sudah menghabiskan 90 % kekayaan Kekaisaran Mongol.

Maka, tak heran, ketika pasukan Tatar-Mongol dibantai habis oleh pasukan Raden Wijaya, dan sisa-sisa kapal yang Cuma puluhan buah kembali ke negeri China tanpa membawa barang rampasan yang cukup berarti, maka Kekaisaran Mongol langsung bangkrut dan melemah, sehingga tak kuasa menghadapi pemberontakan Raja-raja asli China yang ingin memerdekakan diri dari jajahan Mongol selama puluhan abad.

Minim maritim sungai
Dengan kekayaan informasi mengenai maritim lautan yang sangat berlimpah-limpah, sangat disayangkan kalau pembahasan mengenai “pelayaran sungai” agak diabaikan dalam buku ini.

Padahal ketika masih tahap editing buku ini, saya sudah mengingatkan kepada penulisnya, bahwa pembahasan mengenai “maritim sungai” sangat minim, padahal saya sebagai anak tepi sungai, sangat merasakan, betapa sangat pentingnya sungai di zaman dahulu sebagai urat nadi transportasi perdagangan, pertanian bahkan peperangan.

Karena itu, Prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit di era kejayaannya, sampai menerbitkan Prasasti khusus yang mengatur jumlah pelabuhan-pelabuhan sungai di sungai Brantas dan Bengawan Solo, dua sungai paling penting di masa lalu, bahkan sampai tahun 80-an masih sangat penting.

Baru di tahun 90-an, peran sungai digantikan jalan-jalan darat yang mulai dibangun dengan bagus, dan sebaliknya sungai dijadikan pembuangan sampah. Pengkhianatan manusia Indonesia terhadap sungai terus berlangsung sampai sekarang dengan kadar yang sangat kejam. Tidak hanya dijadikan tempat sampah, sungai juga banyak yang diurug dan disempitkan setara got, akibatnya banjir adalah fenomena sehari-hari di negeri “dodolibret” ini.

Semoga, untuk buku yang akan datang, Irawan Djoko Nugroho menumpukan perhatiannya kepada maritim sungai, karena memang untuk hal yang satu ini, hampir belum ada pakar yang membahasnya dengan serius. Mungkin untuk Sungai di Palembang dalam kaitannya dengan Sriwijaya ada beberapa pakar yang membahasnya, namun belum terlalu mendalam. Apalagi mengenai Sungai di Tanah Jawa, yang memang sudah sejak zaman pra-sejarah merupakan urat nadi penting bagi tumbuh-kembangnya Peradaban Manusia.

Peresensi : Viddy AD Daery, budayawan Nusantara, penyair, novelis, penceramah,kolumnis,penulis naskah drama dan sinetron.