Thursday, February 10, 2011

Ini Alasan Ahli Percaya Sadahurip Adalah Piramida

foto

Ahli Geologi Sujatmiko membeberkan kesimpulan tentang kontroversi piramida di Gunung Sadahurip Garut dan Gunung Lalakon di Bandung Selatan, bersama sejumlah pakar geologi dan arkeologi di Musium Geologi, Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/2). TEMPO/Prima Mulia


Tim Bencana Katastropik Purba yakin bahwa Gunung Sadahurip merupakan peninggalan sebuah piramida kuno di Kabupaten Garut. Data sementara memperlihatkan kemungkinan tersebut masih terbuka meski mendapat tentangan dari ahli lain.

Menurut salah seorang anggota tim itu, Danny Hilman Natawidjaja, bagian dalam Gunung Sadahurip memiliki keganjilan yang sukar dijelaskan sebagai bentukan alami. Peta bawah tanah yang didapatkan melalui metoda geolistrik, misalnya, memperlihatkan puncak gunung dibentuk oleh formasi yang berbeda dibandingkan bagian lainnya.

"Bagaimana Sadahurip terpancung lalu dibangun lagi puncaknya? Kami tidak tahu," ujar dia saat mengisi diskusi mengenai bencana katastropik purba di Jakarta, Selasa, 7 Februari 2012. "Kemungkinan gunung ini adalah piramida masih ada. Mari berpikiran terbuka."

Sebelumnya, pengurus Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Sujatmiko, menegaskan bahwa Sadahurip adalah gunung yang terbentuk dari proses desakan magma dari perut Bumi. Desakan material leleh dan panas ini keluar perlahan dari tanah kemudian membentuk struktur serupa kerucut sebagaimana yang bisa dilihat pada saat ini.

Gunung Sadahurip sendiri berbentuk seperti limas. Namun, berbeda dibandingkan piramida yang lazim ditemukan di Mesir, Sadahurip berbentuk limas segi lima. Setiap sisi segi lima sendiri diperkirakan berukuran 333 meter.

Ahli geologi dari Geotrek Indonesia, Awang Satyana, agak sependapat dengan Danny. Menurut dia, Gunung Sadahurip tidak memiliki lubang magma di bagian puncak sehingga sulit dipercaya sebagai gunung berapi yang telah lama mati.

Apalagi, tidak jauh dari gunung, terdapat cekungan Baturahong yang tampak seperti dinding batu andesit. Dahulu, kawasan Baturahong penuh oleh batu andesit. Namun, oleh penyebab tertentu, kawasan ini digali sehingga menyisakan sebagian struktur.

"Tak mungkin cekungan ini terbentuk alami, harus ada kegiatan artifisial," ujar Awang.

Sujatmiko menilai tak ada yang istimewa dengan hilangnya batuan andesit di Baturahong. Menurut dia, proses alami sangat mungkin menyebabkan kawasan ini berubah menjadi dinding terjal dan membentuk cekungan. "Ada tempat lain yang memiliki struktur seperti ini," kata dia.

ANTON WILLIAM